DENPASAR-nerabalinews: Purple Day atau Hari Epilepsi International yang jatuh setiap tanggal 26 Maret menjadi momentum untuk mengingatkan kita semua tentang pentingnya mengenal penanganan epilepsi agar tidak menjadi stigma buruk bagi penderitanya.
Menurut Dokter Spesialis Saraf, dr. I Gusti Ayu Made Riantini, Purple Day merupakan bagian dari kampanye internasional sejak 26 Maret 2008 di Kanada yang diikuti 85 negara. Sejak itu pula tercatat Penderita epilepsi mencapai 65 juta penduduk di dunia, 1 dari 100 orang menderita epilepsi dan di Indonesia terdapat 150 ribu kasus pertahun.
“Hal yang penting adalah mengedukasi masyarakat agar tidak mempercayai mitos dan tidak memberikan stigma buruk terhadap penderita epilepsi. Manfaatnya jika penanganan epilepsi diketahui secara luas. Dengan mengenal epilepsi tentu akan mendorong keluarga penderita lebih terbuka sehingga penanganan yang lebih tepat”. Katanya.
Lebih lanjut dr. I Gusti Ayu Made Riantini, saat ini terjadi peningkatakn jumlah pasien yang mengalami epilepsy hal tersebut dilihat dari meningkatnya jumlah pasien epilepsi di Siloam hospitals Bali dalam beberapa tahun terakhir. Pada periode 2018 terdapat 442 pasien, 2019 : 981 pasien, 2020 yang terus mengalami kenaikan sebamyak 1593 dan data terakhir tahun 2023 mencapai 3510 penanganan dan kunjungan pasien epilepsi.
Terbaru Siloam Hospitals berhasil melakukapan operasi epilepsi terhadap Ni Kadek Purudi Asmi (27) asal Kabuaten Klungkung dan Ni Kadek Selviana Dewi (15). Kisah kedua pasien yang berhasil diopersai ini berbeda-beda. Ni Kadek Purudi Asmi (27) diketahui mengidap epilepsi sejak berusia 14 tahun, kala itu dia masih duduk di bangku SMP. Yang lebih miris Ni Kadek Selviana Dewi (15), terdeteksi epilepsi saat masih berusia 3 bulan.
I Nyoman Swagangga ayah dari Ni Kadek Purudi Asmi menuturkan sudah 13 tahun mengawasi putrinya yang menderita epilepsi, berbagai rumah sakit serta pengobatan alternatif lainnya sudah dijalani demi kesembuhan anaknya namun semuanya belum mendapatkan kesembuhan. Setelah menjalani operasi epilepsi, anak saya mengalami banyak perubahan dan dosis obat pun mulai dikurangi.
“Awalnya saat anak saya berusia 7 bulan mengalami kejang dan tidak sadarkan diri, lalu saya bawa ke rumah sakit di Klungkung, namun saat duduk di bangku SMP anak saya mulai kejang lagi dengan intesitas sering. Saya berharap setelah operasi ini anak saya bisa sembuh total, harapnya Lirih.
Sedangkan kisah orang tua dari Ni Kadek Selviana Dewi (15) yang berjibaku selama 15 tahun merawat anaknya yang menidap epilepsi sejak berusia 3 bulan. Sejak usia usia 3 bulan hingga sekolah Tk intensitas kejang-kejang tidak terlalu sering. Namun saat mulai sekolah sering kejang bahkan meningkat, biasanya hanya 7 kali kejang-kejang dalam sebulan meningkat hingga 15 kali. “Akibat intensitas kejang-kejang yang meningkat kami memutuskan agar Ni Kadek Selviana Dewi berhenti sekolah. Kini pasca operasi anak kami sudah mulai sembuh karena sudah tidak kejang lagi, saya berharap bisa normal seperti anak pada umumnya”. Pinta sang ayah Kadek Dwi Jana Putra
Menurut dr. Dewa Putu Wisnu Wardhana, (Neurosurgeon) beberapa modalitas yang dapat digunakan dalam deteksi epilepsi dan penyebabnya yaitu, Pemeriksaan EEG : Elektroensefalografi yang merekam aktifitas elektrik spontan dari otak, selama periode tertentu (30 menit), dari elektrode yang dipasang dikulit kepala dan melalui MRI (di kepala). “Hal ini untuk menilai anatomi otak dan menyingkirkan kelainan otak lain sebagai penyebab epilepsi”, tutur dokter Dewa Putu Wisnu.
Sedangkan Metode penanganan yang lebih advance untuk mengatasi epilepsi menurut Dr. Dr. dr. Made Agus Mahendra Inggas adalah dengan Terapi VNS (Stimulasi saraf vagus ) dan DBS (Deep Brain Stimulation). VNS terapi atau disebut stimulasi saraf vagus yang telah disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA). Terapi tambahan untuk orang dewasa dan anak-anak berusia 4 tahun ke atas. Disetujui untuk mengobati kejang parsial yang tidak merespons obat kejang.
Stimulasi saraf vagus (VNS) dapat mencegah atau mengurangi kejang dengan mengirimkan energi listrik ringan dan teratur ke otak melalui saraf vagus. “Terapi stimulasi otak dalam (Deep Brain Stimulation) atau DBS merupakan penggunaan alat untuk membantu mengendalikan kejang sehingga Dilakukan pembedahan untuk memasang alat”. Jelasnya.